Rabu, 07 Oktober 2009

AL-AYDRUS DI LUAR BATANG

AL-ALYDRUS DAN KERAMAT LUAR BATANG
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Mesjid Luar Batang termasuk mesjid terkenal di Batavia, karena keramat Sayid Husein bin Abubakar bin Abdillah Alaydrus (w. 1756). Keramat ini menarik banyak peziarah. Pada peta-peta abad ke 19 terkadang ditulis Heilig graf, artinya, makam keramat, di tempat Mesjid Luar Batang sekarang. Mesjid ini terletak di sebelah utara tembok kota lama, di daerah yang sesudah pertengahan abad ke 17 diuruk dan baru boleh dihuni oleh orang Jawa dari Cirebon sejak 1730. Mereka bertugas membersihkan mulut kali Ciliwung dari lumpur, supaya kapal bisa sampai ke Pasar Ikan yang letaknya tidak jauh dari mesjid ini.

Daerah Luar Batang, artinya daerah di luar batang besar (groote boom) yang menutup pelabuhan pada malam hari, merupakan tanah endapan dan urukan yang semakin menjorok ke utara. Pada peta-peta Batavia lama, daerah di sebelah utara tembok kota dan kali yang menghubungkan Kali besar dan Muara Baru, terbentuk perlahan-lahan antara 1650 dan 1700. sejak awal 1730-an daerah ini sangat tidak sehat, karena nyamuk yang berkembang biak dalam tambak ikan di pantai utara, menyebarkan malaria.

Sejarah Mesjid Luar Batang belum dapat disusun dengan jelas, antara lain karena sumber-sumber historis yang tersedia bertentangan dengan pandangan umum sekarang ini, dan kurang lengkap. Berita tertua berasal dari seorang turis Tionghoa, yang menulis bahwa pada 1736 ia meninggalkan Batavia dari sheng mu gang, artinya, pelabuhan makam keramat, yaitu dari pelabuhan Sunda Kalapa sekarang. Maka, pada 1736 sudah terdapat suatu makam yang dianggap keramat di daerah pelabuhan Batavia, walaupun Habib Hussein belum meningal dunia. [Itu keramat siapa?]

Pada 1916 telah dicatat di atas pintu mesjid, bahwa gedung ini selesai dibangun pada 20 Muharam 1152 H yang sama dengan 29 April 1739. Qiblat mesjid ini kurang tepat dan ditentukan lebih persis oleh Muh Arshad al-Banjari (w. 1812) waktu singgah perjalanan pulang dari Hejaz ke Banjar pada 1827. Mesjid ini kurang berkiblat, sama seperti Mesjid Kebon Sirih dan Cikini. Oleh karena itu, ada penulis (misal Abubakar Atjeh) yang beranggapan bahwa semula ruang mesjid ini adalah bekas rumah kediaman orang yang kemudian digunakan sebagai musola atau mesjid.

Pada sebuah batu dalam Mesjid Luar Batang ditulis, bahwa al-Habib Husein bin Abubakar bin Abdillah al-Aydrus yang telah wafat pada hari Kamis 27 Puasa 1169 berkebetulan 24 Juni 1756. Batu ini dibuat antara 1886 dan 1916. Sebab, LWC van Berg dalam buku yang termasyhur tentang orang Hadhramaut, menyebut bahwa Habib Husein baru wafat 1798, sedangkan Ronkel sudah menyebut batu peringatan tersebut dalam karangannya yang diterbitkan pada 1916.

Koran Bataviaasche Courant, 12 Mei 1827, memuat suatu karangan tentang Mesjid Luar Batang. Dicatat dalam tulisan ini, bahwa Habib Husein meninggal kurang lebih pada 1796, setelah lama berkhotbah di antara Surabaya dan Batavia. Pada 1812 makamnya dikijing dengan batu dan masih terletak di luar gedung mesjid sampai 1827. Pada waktu itu, rupanya, derma tidak lagi diterima oleh komandan (semacam lurah) daerah Luar Batang, tetapi dinikmati oleh pengurus mesjid sehingga gedung bisa diperluas.

[Batav Courant, 12 Mei 1827: Kramat Luar Batang adalah yang termasyhur di Batavia. Habib husein meningal dalam rumah komandan Abdul Raup dan dimakamkan di samping mesjid yang sudah ada. Karena permintaan Moh Hamid Lebe serta Abdul Malik dikabulkan, maka mereka sangat memperindah makam Habib Husein, 1812. Maka orang mulai percaya, bahwa nazar yang diucapkan di dekat makam ini selalu terpenuhi. Orang sering mempersembahkan kambing hitam yang tanduknya dihiasi tutupan emas. Pada 1827 jabatan komandan baru diadakan mengganti jabatan kapitan dan letnan. Maka, mengherankan, bahwa 1827 seorang komandan Luar Batang sudah disebut]

Di lain pihak suatu mesjid, bukan surau, telah dicatat pada peta yang dibuat CF Reimer pada 1788. dengan merangkumkan segala data yang tersedia, dapat dikatakan bahwa suatu makam yang diangap keramat sudah terdapat di Luar batang pada 1736. Musola atau mesjid didirikan 1739, Habib Husein tinggal di daerah itu dan meninggal tidak sebelum 1756 mungkin baru pada 1796 atau 1798, makam keramat Habib husein-lah yang menarik banyak peziarah, sehingga Mesjid Luar Batang menjadi mesjid terkenal di Batavia lama. Walaupun data-data ini agak pasti, masih timbul beberapa pertanyaan yang menyangkut sejarah mesjid ini. Sebelum diusahakan suatu jawaban, maka disajikan beberapa kutipan dari pengarang lain.

Dalam bukunya yang terkenal tentang Hadhramaut, LWC van den Berg pada 1886 menulis mengenai Habib Husein:

“Cendekiawan Hadhramaut pertama adalah Sayid Husain bin Abu Bakr al-Aidrus, yang meninggal pada 1798, setelah mengajar selama bertahun-tahun. Segera setelah wafat, ia memperoleh reputasi sebagai keramat. Di atas makamnya di Luar Batang, di dekat muara kali Batavia, telah didirikan sebuah mesjid besar, yang kini menjadi pusat ziarah Nusantara. Tidak hanya golongan pribumi, namun juga Cina campuran dan indo berziarah untuk memohon keberhasilan dalam usaha mereka untuk memperoleh keturunan dan sebagainya. Penjualan benda-benda keramatnya mencapai 8.000 gulden setahun. Bagi golongan pribumi, dikubur di makam kecil yang terletak di samping mesjid, merupakan cita-cita, akibatnya sumbangan untuk makam juga merupakan sumber pemasukan yang cukup besar”

Tentang tulisan van den Berg ini, azyumardi azra dalam tesis doktoral mengatakan:

“Van den Berg does not tell us why sayyid Husayn was regarded as a man of keramat. Itu may suggest that Sayyid Husayn was a sufi shaykh during his life, for those who possesses keramat, by and large, are sufy shaykhs who have achieved the lofty status of wali Allah. During his lifetime, it is also likely that Sayyid Husayn was visited by a great wandering Hadhrami scholar, Abd al-Rahman bin Mustafa al-Aydrus, who died in Egypt in 1194/1780”

Walaupun berusaha mencari data sejarah lebih banyak tentang riwayat hidup Habib husein, kami kurang berhasil. Maka, berikut ini kami sajikan ringkasan cerita tentang hidup perbuatan ajaib habib tersebut, yang dikumpulkan oleh seorang keturunannya dan diterbitkan untuk kalangan sendiri:

Cerita tentang riwayat al Habib Husein al-Aydrus: lahir di Hadhramaut dari keluarga sederhana sebagai yatim dan dititipkan kepada seorang alim sufi. Semasa masih belia Husein berniat hijrah ke kota Surat di gujarat (India utara), yang sedang terjangkit wabah dan dilanda kekeringan. Husein mendatangkan hujan dan kesehatan. Karena kejadian itu ia ditawari menjadi penguasa setempat, hal mana ditolak Husein, yang hendak berangkat ke Batavia (1736). Di sebelah barat mulut ciliwung, di dekat tempat bongkar muat barang kapal, di tengah semak belukar dan hutan bakau dibangun sebuah surau. Banyak orang mengunjungi Habib Husein untuk belajar berdoa. Pada suatu malam datanglah seorang Tionghoa dengan badan basah kuyup. Ia melarikan diri dari tahanan, karena hendak dijatuhi hukuman mati. Waktu tentara VOC tiba untuk menangkapnya, Husein berkata, aku akan melindungi tawanan ini dan menjadi jaminannya. Lalu tentara itu tidak bisa berbuat apa-apa.

Habib Husein menjadi semakin terkenal dan banyak orang mulai berdatangan ke tempatnya untuk bermukim. Hal inilah yang menyebabkan kecurigaan penguasa setempat. Maka, Husein beserta pengikutnya ditangkap dan dipenjarakan dalam ruang terpisah di Glodok. Waktu salat, tiba Habib Husein selalu tampak menjadi imam di ruang tahanan yang besar, namun pada saat yang sama petugas melihatnya juga sedang tidur di ruangannya yang terkunci. Atas dasar keajaiban ini, maka Habib Husein dibebaskan.

Pada suatu hari ia meramalkan nasib baik seorang pemuda Belanda, yang kemudian benar-benar menjadi pejabat tinggi. Maka, Husein diberi beberapa karung perak, yang dibuangnya ke laut. Waktu ditanya, ia menjawab, bahwa uang itu untuk ibunya, dan memang mengalir sampai ke Hadhramaut. Merasa heran akan kejadian itu, maka gubernur menghibahkan tanah kepada Habib husein untuk menggunakan sebagai tempat tinggalnya dan musola. Beliau meninggal pada 27 Juni 1756 dalam usia kurang lebih 40 tahun. Jenazahnya diusung dalam karung batang ditandu ke kuburan tanah abang seperti seharusnya. Namun sesampainya di kuburan, jenazah Habib tiada lagi dan ternyata sudah kembali ke rumahnya. Hal ini terjadi berulang kali. Maka disepakati, bahwa jenazah ini dikebumikan di rumahnya yang karenanya disebut luar batang.

Demikianlah diceritakan dalam buku kecil Sepintas Riwayat Shahibul Qutab Alhabib Husein bin Abubakar Alaydrus, karangan Sayid Abdullah bin Abubakar Alaydrus. Cerita seperti ini lazim dikembangkan di seputar tempat ziarah di mana-mana, antara lain untuk melegitimasikan latar belakang tempat atau tokoh yang bersangkutan. Dalam cerita di atas ini terselip beberapa anakronisme: penempatan peristiwa pada masa lebih dahulu daripada dapat terjadi, misalnya orang ditahan di Penjara Glodok sebelum penjara itu didirikan, yakni pada 1845 atau di kubur Tanah Abang sebelum kuburan ini mulai dipakai sejak 1795. Jadi, kedua tempat belum ada pada masa hidup Habib Husein.

Mungkin adanya sebuah makam kedua di dalam mesjid ini dapat sedikit mengangkat tabir sejarah. Pada 1791 seorang penjelajah lain, yang bernama Ong Hoe Hoe tinggal agak lama di Batavia dan menulis tentang seorang Tionghoa yang menonjol di antara kaum Tionghoa yang sudah lama tinggal di Luar Batang.

“Nek Bok Seng pernah tinggal dalam gubuk dari kayu pisang di tepi kali pada tempat yang disebut makam keramat. Ia hidup menyendiri dan menyibukkan diri dengan menyalin buku-buku. Ia sangat suka main suling, mensyair dan main catur dengan pandai sekali. Ia seorang bijaksana dan pandai. Pada hari Minggu rumahnya dipenuhi teman-temannya. Ia bersemangat seperti orang kami yang termasyhur Pok Hoe, yang dihormati karena cara ia menjamu orang … Linglung dan baik hati si bong Seng bagaikan bunga seruni (Krisantenum) sementara dalam hatinya timbul pikiran yang sangat indah. Sebetulnya ia boleh disebut dan dipandang sebagai orang bijak abad kita” (Reijnvalen, 1852, Opmerkingen van den Chinees Ong Hoe Hoe gedurende zijn verblijf in den indischen Archipel)

Demikian, laporan Ong Hoe Hoe tentang orang bijak di Luar Batang, yang ditulis sekitar 1793 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda pada 1852. Diketahui bahwa sejak lama banyk orang tionghoa berziarah ke Luar Batang antara lain karena makam Abdul Kadir yang terletak dekat keramat Habib Husein. Mungkinkah Kadir boleh diangap identik dengan Ne Bok Seng yang meningal sebelum Habib Husein? Perlu diadakan penyelidikan lebih lanjut baik arkeologis di tempat maupun historis di arsip-arsip.

Pada 1870-an mulailah apa yang waktu itu disebut Perkara Luar Batang, yang berkisar pada pendapatan derma yang berjumlah besar. Mula-mula dua komandan daerah Luar Batang berusaha memperoleh derma itu, tetapi dihalangi oleh fatwa berbagai ulama, terutama oleh fatwa yang dikeluarkan oleh Sayid uthman (w. 1914), yang membenarkan bahwa keturunan Habib Husein yang berhak atas derma itu. Fatwa itu dibenarkan oleh Ahmad Dahlan, mufti aliran Syafii di Mekah (1878). Setelah masalah ini diputuskan, mulailah pertengkaran di antara keluarga Arab itu sendiri. Maka, atas nasehat C Snouck Hurgronje, pekarangan mesjid ditutup oleh pemerintah sampai tercapai suatu persepakatan. Hal ini dilakukan dengan cepat, 1905, sehingga Perkara Luar Batang selesai.

Mesjid Luar Batang mengalami perluasan dan pemugaran beberapa kali. Pintu gerbang masuk ke halaman mesjid sekarang yang dikelilingi tembok, tampak agak baru dan bergaya Timur Tengah. Komleks Mesjid Luar Batang terdiri dari berbagai gedung, yang ditambahkan pada abad yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan zaman, terutama bagi para peziarah yang berkunjung dari jauh. Dahulu orang yang pergi naik haji bersembahyang di mesjid ini sebelum berangkat dan sesudah mendarat lagi di pelabuhan Pasar ikan. Seorang cucu Sayid Husein mendirikan Mesjid an-Nawier di Pekojan.

Mesjid Pekojan, yang disebut Mesjid an-Naweir, artinya cahaya, terletak di Pekojan di tepi kali. Mesjid ini dibangun pada 1760 oleh Sayid Abdullah bin Husein Alaydrus yang berasal dari Hadhramaut. Pada masa akhir abad ke 18 Pekojan masih dihuni oleh orang Moor dan di antara mereka jumlah orang Arab hanya sedikit. Di seluruh Batavia jumlah orang Arab pada 1815 baru berjumlah 318 orang saja. Gaya bangunan mesjid Pekojan bercorak Arab campur unsur-unsur barat, terutama klasisisme. Mesjid ini tidak dibangun sekaligus melainkan bertahap, hal ini menjadi jelas dari empat bagian atap limasan tak bertingkat dan pula dari dua lantai yang berbeda. Mungkin bagian tertua adalah bagian utara ruang utama.

Seorang yang terkenal dan erat hubungan dengan Pekojan ialah Sayid Uthman yang mungkin tokoh paling kontroversial di antara orang Hadhramaut di Batavia. Walaupun bekerjasama dengan Belanda, sayid ini termasuk tokoh terkemuka gerakan pembaharuan abad ke 19 di Indonesia. Sayid Uthman lahir di Pekojan, 1822, dari Sayid Abd Allah bin Aquil bin Umar bin Yahya yang lahir di Mekah. Kakeknya dari pihak ibu adalah Sayid abd-al Rahman al-Misri dari Mesir yang kemudian bertempat tinggal di Petamburan, tempat ia mendirikan sebuah mesjid.